Kisah Batu Menangis

Dikisahkan, di sebuah desa ada seorang ibu bersama anak perempuannya yang bernama Darmi. Gadis itu memang rupawan, sayang sifatnya tidak secantik wajahnya. Darmi adalah gadis pemalas yang hanya gemar bersolek, setiap hari ia memandangi dirinya di depan cermin mengagumi kecantikan wajahnya.

Matanya memandang ke sekeliling ruangan, hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan, bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas.

Darmi memang bukan anak orang kaya, ayahnya sudah meninggal dan ibunya tidak memiliki banyak uang. Untuk menghidupi mereka berdua, sang ibu bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apa pun dia lakukan, mulai dari mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, bahkan mencuci pakaian orang lain. Pekerjaan apa pun akan ia lakukan untuk memperoleh sedikit upah.

Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja, sedikit pun dia tidak merasa iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Ia bahkan tidak tergerak untuk ikut membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah. Dan jika ada sesuatu yang sangat diinginkannya, ia pun akan merengek agar permintaannya dituruti.

Seperti minggu lalu, saat seorang kawannya dari desa di utara sungai yang mengadakan pesta perayaan. Darmi mendapat undangan untuk menghadirinya, tentu saja hal tersebut membuat gadis cantik itu senang bukan kepalang.

Dibayangkannya tamu-tamu dalam pesta itu akan memandangi wajahnya yang rupawan. Para pria memuji kecantikannya, sementara para wanita mungkin akan iri hati melihat penampilannya.

Namun tiba-tiba Darmi teringat bahwa ia tidak memiliki pakaian yang pantas dikenakannya di pesta tersebut, segera ia mencari ibunya yang sedang memasak di dapur. Darmi meminta ibunya agar dibelikan pakaian dan selendang baru, karena ia akan menghadiri pesta di desa utara sungai. Sang Ibu hanya dapat menghela nafas panjang mendengar permintaan anak semata wayangnya itu, ia tidak tega padanya.

Ibunya lalu mengajak Darmi ke pasar untuk menjual kayu bakar, setelah itu baru uangnya bisa dia belikan pakaian. Darmi hanya terdiam, karena ia sebenarnya tidak ingin pergi ke pasar bersama ibunya. Ia malu dan khawatir jika ada orang yang melihatnya berjalan bersama wanita tua itu dan mengejeknya. Akan tetapi, gadis itu tak punya alasan untuk menolak, sebab tanpa uang hasil penjualan kayu bakar, ia tidak mungkin dapat membeli pakaian baru. Akhirnya, Darmi masuk ke kamarnya sambil cemberut dan menggerutu.

Keesokan paginya, mereka bersiap pergi ke pasar. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal, sementara sang Ibu mengenakan pakaian Iusuh. Darmi berjalan cepat sekali, hingga membuat Ibunya tidak mampu mengikutinya. Darmi dan terus mempercepat Iangkahnya, ia tidak ingin ketahuan berjalan bersama ibunya.

Di tengah jalan, Darmi disapa oleh beberapa orang dari desa tetangga yang menyapanya. Tetangga itu pun menanyakan siapa wanita tua yang bersama Darmi, namun Darmi tidak mau mengakui bahwa dia adalah ibunya. Ia pun segera mempercepat langkahnya agar tak ditanya-tanya lagi.

Betapa terkejutnya sang Ibu mendengar perkataan anak kesayangannya itu. Rasa marah mulai muncul dalam hati, karena gadis itu tidak mau mengakui dirinya sebagai Ibu. Namun, ia menahan amarahnya dan berharap Darmi akan segera berubah pikiran.

Sayangnya, harapan sang Ibu tidak terjadi. Sepanjang perjalanan mereka bertemu beberapa orang lagi, dan Darmi terus mengatakan hal yang sama. Akhirnya sang Ibu tidak tahan lagi kesedihan. Sambil bercucuran air mata, ia pun menegur anaknya.

Dengan angkuh, Darmi terus melangkah meninggalkan sang Ibu yang terduduk di pinggir jalan. Air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Perasaannya remuk rendam, tidak mampu ia berkata-kata selain mengadahkan kedua tangannya ke langit. Rasa sakit di hatinya membuat ia mengucapkan kutukan.

Doa sang ibu pun terkabul. Tiba-tiba langit menjadi gelap, awan biru berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi merasa sangat takut, lalu ia mencoba berlari menjauh. Saat itulah ia menyadari, bahwa kedua kakinya berubah menjadi batu.

Darmi menjerit ketakutan, betapa mengerikannya perasaan yang dialaminya saat mendapati kedua kaki berubah menjadi batu. Ia kian ketakutan mendapati pinggangnya pun berubah membatu. Sadarlah ia, semua itu terjadi karena kedurhakaan besarnya kepada Ibunya. Maka dia pun berteriak-teriak memohon ampun dari ibunya.

Namun, semuanya telah terlambat bagi Darmi. Sang Ibu hanya terdiam, sama sekali tidam berusaha mengabulkan permohonan anaknya yang telah berbuat durhaka terhadapnya. Ia merasa telah cukup mengalami penderitaan yang diakibatkan anaknya itu, hingga akhirnya seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu.

Batu jelmaan Darmi itu terus meneteskan air seperti air mata penyesalan yang menetes dari mata Jelita. Orang-orang yang mengetahui adanya air yang terus menetes dari batu itu, kemudian menyebutnya Batu Menangis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *